vendredi 21 juillet 2017

Gunung Welirang 3156 mdpl via Tretes

Gunung Welirang adalah gunung berapi aktif berketinggian 3156 mdpl. Gunung ini terletak di perabatasan kota Pasuruan, kota Batu dan kabupaten Mojokerto. Welirang masuk dalam pengelolaan Taman Hutan Raya Raden Soerjo. Gunung Welirang sendiri bersebelahan dengan Gunung Arjuno, Gunung Kembar I (K1), dan Gunung Kembar II (K2). Puncak Gunung Welirang terletak pada satu punggungan yang sama dengan puncak gunung Arjuno, sehingga kompleks ini sering disebut juga dengan Arjuno-Welirang (Wikipedia).
Peak of mount Welirang
Hari jumat (27/11/2015) saya melakukan pendakian ke gunung Welirang dengan 5 orang teman (Cak Ilung, Mas Amal, Mbak Umi, Sakdyah dan Bos Emil wkwkwk :v). Kami berangkat dari kota Malang sore hari sampai di pos pintu masuk pendakian sekitar jam 8 malam. Setelah sholat isya’ dan makan sebentar di warung dekat pos, kami bersiap melakukan pendakian malam itu juga.

Kami mengawali pendakian sekitar jam 9 malam. Susana pun masih bersemangat, kami bercandaan ini dan itu sepanjang perjalanan. Di kawasan awal ini, kami melewati gugusan pohon pring (bambu), hutan pinus dan ladang warga. Tidak jarang pula kami masih mendengar teriak nan tawa anak pramuka (kemungkinan) ramai berkegiatan camping di kala malam itu.

Setengah jam berjalan, tak terasa sudah sampai di pos pet bocor alias pos 1( 21.30 WIB). Kenapa pos tersebut dinamakan demikian. Sebab ada mata air yang mengalir di pos tersebut. Kalau tidak salah, mata air tersebut di lewatkan pipa/aralon besar atau bamboo yang bocor. Akhirnya pun oleh masyarakat sekitar dinamakan pet. Masih di pet bocor juga, ada rumah gubug disamping mata air. Gubug tersebut digunakan untuk berjualan ketika pagi menjelang.

Camp di Kokopan
Setelah duduk sebentar menikmati keheningan malam diiringi deringan jangkrik di pet bocor, kami melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutnya, yaitu kokopan (pos 2). Perjalanan dari pos ini sudah mulai menampakkan jalan yang terus menanjak. Maklum karena rombongan banyak cewek-cewek, kami menempuh perjalanan hampir 2 jam lebih dan sampai di pos 2 sekitar tengah malam (00.00 WIB). Di pos 2 ini kami mendirikan tenda (camp) dan istirahat. Menurut ketua rombongan (para cowok), lebih baik menyimpan energi dulu di pos ini. Sebab kami sudah lelah dari perjalanan dari Malang hingga pos Kokopan. Dan juga perjalanan masih jauh jika memaksakan diri lanjut jalan.

Besoknya, Sabtu (28/11/2015) subuh sekitar jam 5 kami sholat dan memasak sarapan pagi. Di kemiringan dataran dimana kami memasak dan tenda berdiri, tersaji pemandangan indah terhampar luas daratan. Tak jauh juga terlihat gunung Penanggungan dengah khas puncak runcing sempurnanya (mirip Semeru). Oh iya, nilai plusnya nih kalau kita mendaki jalur Tretes. Banyak mata air yang akan kita temui sepanjang pos. salah satunya di Kokopan. Banyak pendaki memilih tempat ini untuk mendirikan tenda karena dekat dengan sumber air melimpah.

Tim komplit
Selesai sarapan dan mengepak ulang tenda di carrier, kami siap lanjut jalan jam 8 pagi ke pondokan (pos 3). Vegetasi dari sudah mulai terlihat berbeda. Dari awalnya ladang terasering menjadi hutan khas ketinggian 2000 mdpl, yaitu hutan cemara. Perjalanan kali ini memakan waktu lama karena memang jaraknya sendiri lumayan jauh. Serta perlu diketahui, treknya menanjak tanpa ampun dan tanpa bonus. Tak ayal, rombongan cewek sering kepayahan. Apalagi saya keseringan istirahat dan selalu tertinggal di belakang dari rombongan (maafkeun). Sekitar 5 jam berjalan+istirahat di perjalanan, kami tiba di pos 3, Pondokan. Langsung saja saya ambruk, istirahat dan membenamkan mata sebentar. Sementara yang lain sibuk bergantian mencari air untuk wudlu, kemudian sholat dhuhur. Tak berapa lama setelah itu, saya dibangunkan untuk giliran sholat.

Pos 3, kenapa dinamakan pondokan? Karena di tempat ini banyak rumah gubug (pondok) yang konon dipakai warga Tretes untuk sejenak beristirahat. Istirahat untuk apa ya kira-kira? Iya istirahat setelah menambang belerang di sekitar puncak Welirang. Asal bloggers tau aja, banyak warga sekitar Tretes bermata pencaharian dengan menambang belerang di lereng gunung ini. Jadi bisa dibayangkan, apalah kita-kita para pendaki Welirang bila dibandingkan dengan penambang tersebut. Yang harus bolak balik tiap hari ke lereng demi mengais sebuah nasi untuk keluarga.

Pos 3 Pondokan
Tambahan info juga, kalau jalur Trestes ini bisa dilewati oleh mobil. Tentunya juga bukan mobil sembarangan lo. Mobil yang dipakai untuk menanjak jalan di jalur gunung Welirang ya sejenis mobil-mobil off road (beroda besar+keras). Mobil ini juga berfungsi sebagai pengangkut belerang yang sudah diambil penambang dari lereng. Kemudian dikumpulkan di pos 3 pondokan. Jadi mobil tersebut hanya bisa beroperasi sampai pos tersebut.

Pos 3 ini juga menjadi tempat persimpangan jalur pendakian antara Arjuno dan Welirang via Tretes. Jadi kalau bloggers ingin ke puncak Ogal Agil, dari pondokan harus ambil jalan ke kiri. Sedangkan kalau menambang belerang dan ke puncak Welirang ambil jalur lurus ke kanan.

Setelah dari pos 3, kami lanjut meluncur sekitar jam 2 siang. Dimana nantinya kami akan mendirikan tenda dan istirahat di simpangan K2 dan puncak Welirang. Vegetasi tumbuhan yang terlihat di ketinggian ini sudah mulai tampak. Yakni jalan berbatuan kapur dan tumbuhan pohon Chantigi yang hanya tumbuh diatas ketinggian 3000 mdpl. Tak terasa juga jalur perjalanan beriringan pohon Chantigi ini memakan waktu 3 jam dari pondokan. Akhirnya sampai di simpangan jam 5 sore.

Camp di Simapangan K2 dan puncak Welirang
Angin dan kabut menyelimuti sepanjang malam tempat kami mendirikan tenda. Situasi tersebut membuat kami agak sedikit takut jika tiba-tiba ada badai (sebenarnya juga takut ada makhluk tak kasat nyamperin wkwkwk :v) kemudian menghempaskan tenda kami. Kami pun memutuskan langsung istirahat tanpa basa basi bercanda setelah makan dan sholat. Lebih baik juga cepat-cepat istirahat menyimpan tenaga menuju puncak Welirang keesokan paginya.

Subuh menjelang di hari minggu (29/11/2015), kami bangun dan subuh an jam 5 pagi (aslinya mau ngejar sunrise di puncak tapi berat ninggalin mimpi wkwkwk). Tidak ada waktu untuk sarapan. Langsung  packing barang yang mau dibawa ke puncak. Baru kami bergegas lewat jalur ke puncak Welirang jam 6 pagi.


Wisata petik Chantigi :v
Sepanjang perjalanan pohon Chantigi mengiringi kami. Ngomong-ngomong tentang pohon unik ini, Chantigi ternyata bisa dimakan lo. Rasa buahnya mirip dengan buah Anggur. Hanya bedanya, tumbuhan endemik tersebut berbentuk mungil dan hanya ditemukan di ketinggian khusus. Coba saja bloggers kalau mendaki di wilayah tersebut. Kami malah mau petik banyak agar bisa dibawa pulang untuk kenang-kenangan. Haha

Banyak cabang jalan yang terlihat juga diantara simpang-simpag batuan dan ranting pohon. Bloggers harus hati-hati dalam memilih jalur. Karena cabang tersebut bisa jadi arah turun gunung. Jadi amati saja jalur yang selalu mengarah naik/menanjak.

Penampakan goa di kawasan puncak
Tak jauh juga dari jalur pendakian, ada goa batu yang menjadi pertanda jalur mengarah ke puncak Welirang. Benar saja, tak lama setelah itu puncak gunung ini terlihat dari kejauhan seperti kepala merunduk. Langsung kami bergegas dan mengelurkan pose terbaik diatas 3156 mdpl ini. Tak ada plakat spesial yang menunjuk gunung Welirang. Namun ada sejenis batu besi sebagai penanda tersebut adalah puncak tertinggi.

Kami sampai di puncak sekitar jam 7 pagi. Sekalian berlama-lama menikmati indahnya pemandangan dari pucuk, terlihat kawah menganga di sebelah barat. Sebelah utara nampak juga gunung Penanggungan, timur ada puncak K1+K2 dan tetangga sebelah puncak Arjuno, dan di selatan ada hamparan lahan sawah, kota Batu beserta gunung Buthak.

Titik puncak merunduk terlihat dari kejauhan
View kota Batu
(Kiri-kanan; Mas Amal, Sakdyah, Saya, Bos Emil, Mbak Umi dan Cak Ilung)
Selama 1 jam kami di Puncak, jam 08.00 pagi kami turun ke simpangan. Kami memasak sisa–sisa makanan/snack yang ada karena sudah hari ke 3 yang mengartikan logistic kami juga mulai menipis. Tidak tanggung-tanggung memang, dari puncak pada kelaparan. Jadi sedikit enteng bawa carrier turun dari pos simpangan. Setelah semua terpacking rapi, baik tenda dan peralatan masak, kami turun sekitar jam 10 pagi.

Untuk turun gunung, waktu tempuh bisa lebih cepat dibandingkan naik. Singkatnya, kami dari Simpangan ke Pondokan hanya memakan waktu 2 jam, yakni sampai jam 12 siang. Dari Pondokan ke Kokopan juga hanya 2 jam. Kemudian dari Kokopan jam 3 sore, lansung ke basecamp sampai jam 5 sore.
Istirahat bentar ya~
Sesampainya di basecamp, kami bertemu banyak sekali pendaki. Mereka kebanyakan memilih ke Arjuno. Berbeda dengan kami, dimana sepanjang perjalanan jarang bertemu pendaki ke puncak Welirang. Kami bertemu pendaki lain juga sih di puncak. Namun mereka naik dari via kota Batu (Cangar).

Setelah selesai mandi, bersih-bersih segala perlatan, kami siap kembali ke kota Malang tepat setelah Magrib. Sebelum berpisah (karena ada yang asli Pasuruan), kami bareng-bareng menikmati masakan yang tak bakal ditemukan diatas puncak gunung, bakso dan es degan. Alhamdulillah nikmat tiada tara.

Untuk tipsnya mendaki gunung Welirang via Tretes. Logistic dan fisik harus siap pastinya. Lapor ke basecamp sebelum mendaki dimana nanti harus membayar tiket masuk. Seingat saya waktu itu harga tiket 8000 per orang. Tapi kurang tau lagi sekarang berapa. Ini nih kalau beruntung, bloggers bisa nebeng mobil juga. biasanya ngangkut belerang dari pos Pondokan  lo. Kalau beruntung ketemu ya. hehe

Gunung ini termasuk gunung angker. Jadi hati-hati saja. Bloggers tidak diperkenankan aneh-aneh jika tak ingin sesuatu terjadi pada kalian (haha menakuti). Kalau memutuskan camp terakhir di dekat puncak seperti kami. Sebaiknya bloggers mendirikan tenda dibawah pohon agar angin yang bertiup tidak merobohkan tenda. Soalnya benar-benar kencang sekali angin di ketinggian 3000an mdpl dan cuaca sering sekali gampang berubah-ubah. Pokoknya stay safety aja.

Nah sekian pengalaman saya ketika mendaki gunung Welirang. Mungkin ada tambahan info lagi mengenai gunung ini. Sialahkan memberi komentar di bawah ya. Agar teman-teman bloggers yang lain tahu tentang info terupdatenya. Merciiii ;)


Gunung Penanggungan berselimut awan
Pondokan warga di pos 3
Cewek-cewek carrier :v
Setapak jalan dari pos 2 ke pos 3
Trek bebatuan ke puncak
Foto dulu kak :v
Jalan landai dekat puncak
Begitulah arah tanjakan bebatuan ke puncak
Selfie bareeengg... *cekrek!

jeudi 20 juillet 2017

Puncak gunung “Putri Tidur”, Buthak 2868 Mdpl

Perjalanan pendakian kali ini, saya akan bercerita tentang pengalaman mendaki gunung yang disebut ‘Putri Tidur’ oleh masyarakat arema, yaitu Gunung Buthak. Memang benar aja sih kalau dilihat dari sebelah timur, tepatnya dari kota Malang. Gunung ini mirip seperti wanita yang sedang rebahan tidur gituh. Coba aja lihat deh pas kapan-kapan main ke Malang. ;)

Puncak Gunung Buthak
Oke lanjut ke perjalanan pendakian. Saya berangkat Sabtu (06/09/2015) dengan hmmm berapa anak yaaa. Agak lupa hahaha, sekitar 10 anak lebih kalau tidak salah. Ada yang gabung pendakian juga pas waktu itu. Akhirnya jadi banyak teman pas ndaki. Kami start pendakian dari kawasan parkir Panderman sekitar pukul 16.00 WIB. Pos 1 itu kalau tidak salah persimpangan antara jalur pendakian ke gunung Panderman dan gunung Buthak. Habis itu bertemu pos 2 sekitar 15 menit kemudian dengan tanda jalan berbelok ke kiri (kalau kita dari bawah).

Saat itu dari pos 2, jalur trekking semakin berdebu. Mungkin tidak terasa ya debu semakin bertebaran kemana-mana di udara karena perjalanan waktu itu malam hari kasat oleh mata. Tapi benar-benar payah dah kalau misal waktu hujan. Pasti jalannya berlumpur dan sulit dilewati sekaligus berat di kaki. Selama kurang lebih 5 jam kami berjalan kaki dari bukit ke bukit, mendaki gunung melewati lembah (kayak lagunya Ninja Hattori aja wkwkw :v). Kami sampai di pos V sekitar pukul 21.00 WIB dimana terdapat lahan datar untuk mendirikan beberapa tenda. Beruntung sekali pas waktu itu ketemu rombongan lain dari mapala Lamongan. Jadi kami dibantu mereka bareng-bareng mendirikan tenda.
Setelah tenda selesai didirikan dan kami sudah agak kepayahan, udara dingin pula pas di pos V. Akhirnya kami memutuskan istirahat tidur setelah mengisi energi dengan perbekalan nasi dan teh hangat. Supaya besok paginya siap untuk melanjutkan perjalanan lagi ke Puncak.
Sisa-sisa pohon terbakar

Hari minggu pagi, kami bangun dan mempersiapkan makan pagi sebelum berangkat ke puncak. Setelah nasi, mie rebus dan sisa lauk-pauk kemarin siap, kami langsung menyantap habis makanan tersebut rame-rame. Habis itu siap-siap packing barang yang mau dibawa pas muncak di 1 tas carrier. Kami pun memulai perjalanan sekitar pukul 07.00 WIB. Perjalanan dari pos V menuju padang savanna penuh dengan kayu pohon yang hitam bekas terbakar (memang waktu itu gunung Buthak habis heboh-hebohnya kebakaran hutan). Memang tak bisa diindahkan ya kebakaran hutan tersebut karena memang sepanjang perjalanan waktu itu daun dan ranting pohon kering kerontang. Jadi wajar saja kalau hal tersebut mudah memacu kebakaran apalagi angin di ketinggian tersebut lumayan kencang.

Hampir 3 jam pendakian dari pos V, akhirnya kami sampai di savanna gunung Buthak sekitar pukul 10.00 WIB. Memang benar ya disebut savanna karena tempat tersebut datar luas dan rumput-rumput khas pada ketinggian 2000-an mdpl. Tapi sayangnya, ya gitu, hangus bekas kebakaran gitu. Jadi hmm enggak terlihat hijau nan indah nian. Ya habis bencana, mau gimana lagi ya kalau Allah sudah menghendaki keadaan alam kita jadi seperti itu ya. Yang penting kita manusia jangan sampai merusak keindahan itu deh. O iya, di savanna ini sebenarnya paling cocok banget buat mendirikan tenda. Banyak lahan datar dan yang penting itu ada sumber air deras di kawasan tersebut.
Savanna Kering Gunung Buthak

Setelah dari savanna kami mengambil jalan agak ke selatan (enggak tau juga sih itu ke selatan atau kemana ya. Tapi feeling aku sih ke selatan hahaha) dan nemuin jalan masuk hutan. Jalur ke puncak lewat hutan ini treknya lumayan miring dan melelahkan sekaligus berdebu pula (siap-siap slayer atau penutup hidung gitu deh). Akhirnya setelah 1 jam perjalanan, kami tiba di puncak gunung Buthak sekitar jam 11 siang (pas benar mentereng-menterengnya matahari diatas ubun-ubun tuh). Tapi kami disuguhkan oleh pemandangan alam yang tak kalah menakjubkan pada siang hari itu. Disebelah barat lautan awan membanjiri dibawah puncak. Disebelah utara kami dapat melihat pemandangan gunung Arjuno-Welirang dengan jernih berdiri kokoh menjulang cakrawala. Di sebelah timur agak ke tenggara ada puncak gunung Semeru dan pemandangan savanna Buthak yang luas. O iya, di puncak gunung Buthak itu ada kayak sebuah podium kalau saya menyebutnya. Podium berlahan hampir sekitar diameter 4x 4 m (perkiraan) dikelilingi pohon khas ketinggian segitu. Plakatnya pun ada yang ditempel di pohon sebelah utara podium tanah tersebut kala itu. Enggak tau lagi plakatnya sekarang masih ada atau enggak. Kan biasanya banyak tangan-tangan jahil tuh. Hehehe peace!
Selatan Puncak
Lautan awan barat Puncak
Podium Puncak Gunung Buthak
Puncak 360°
Selesai urusan pemotretan di puncak gunung Buthak. Kami beranjak dari situ jam 12.00 lebih. O iya, sebelum itu kami kan datang dari sisi selatan puncak. Nah pas turun, kami mengambil jalur sisi utara puncak. Jadi bloggers harus benar-benar pintar baca jalur ketika turun ya. Jangan sampai tersesat salah jalur turun. Kemudian tiba di savanna lagi, istirahat sebentar untuk minum dan mengambil perbekalan air. Di padang savanna sendiri itu ada mata air jernih. Maka dari itu kebanyakan para pendaki mendirikan camp di savanna.
Mata air di savanna

Setelah selesai istirahat, kami langsung melanjutkan perjalanan turun dari savanna menuju tempat kami mendirikan tenda di pos V. Kurang lebih sekitar 1 jam kami tiba di tempat camp. Istirahat sebentar lalu masak makanan untuk perbekalan energi turun gunung. Packing tenda dan semua peralatan camp, kami turun sekitar pukul 16.00 WIB. Turun dari pos V sampai basecamp di parkiran Panderman memerlukan waktu 4 jam, sekitar pukul 20.00 WIB. Bersih- bersih badan dan istirahat sejenak di masjid sekitar parkiran. Setelah itu kami langsung balik ke kota Malang.

Tips untuk mendaki gunung Buthak via Panderman. Persiapan fisik dan logistik jelas harus dipikirkan. Kemudian tiket masuknya dulu ketika tahun 2015 itu Rp 7000/orang. Sejak artikel diterbitkan di blog saya, saya belum tahu lagi update sekarang menjadi berapa harga tiket masuknya. Dan dulu kalau parkir bisa sampai desa terakhir sebelum kita mengawali pendakian. Tapi sekarang (2017) hikers yang hendak mendaki gunung Panderman maupun Gunung Buthak tidak diperkenankan parkir sampai desa terakhir. Jadi harus parkir dibawah desa, kemudian naik ojek untuk menuju titik awal pendakian. Mungkin bloggers pada bertanya, kenapa diberlakukan seperti itu. Iya pasti ada sebabnya. Hal tersebut diberlakukan karena kurang lebih banyak kecelakaan di salah satu titik jalan menuju desa teratas. Ada jalan yang hampir titik kemiringan hampir 75­ derajat. Dimana sepeda motor/mobil jika tidak kuat untuk menanjak bisa-bisa mengakibatkan kecelakan tunggal maupun beruntun.

Pernah saya sendiri mengalaminya ketika menggunakan motor bebek. Dimana masuk gerigi satu dan saya membonceng teman melewati jalan tersebut tidak kuat dan hampir saja saya ambruk di tempat dan bisa jadi menggelinding beserta sepeda motor yang saya naiki. Beruntung sekali saya masih bisa mengendalikan keseimabangan sepeda. Akhirnya saya belok kan sepeda tersebut langsung mengambil arah jalan kemabali ke bawah. Itulah mungkin titik jalan berbahaya yang mungkin dikhawatirkan oleh para penduduk sekitar ketika para pendaki akan mendaki di kawasan tersebut. Jadi sebaiknya, kalian perhatikan dan ikuti petunjuk yang ditetapkan ya, bloggers.


Itulah pengalaman saya ketika menaiki gunung Putri Tidur ini. Mungkin bisa bermanfaat sebagai referensi penunjuk jalan untuk pendakian kesana. See yaa.

Pemandangan Gunung Semeru
Background Arjuno-Welirang
Hutan menuju puncak
Jalur turun sebelah utara
Padang savanna kering
Setapak kering jalur Buthak
Tim Hore Gunung Buthak :v

mardi 18 juillet 2017

Eksplorasi Negri 1001 Goa Part 1

Gimana ya cara menghabiskan waktu liburan akhir tahun? Khususnya ketika para pelajar sekolah tingkat TK, SD, SMP dan SMA libur semester ganjil. Pasti banyak yang memprediksi di semua jalan maupun tempat wisata pasti akan sangat ramai akan pengunjung.
Nah, salah satu alternatif yang bisa dipilih adalah destinasi wisata yang tidak mainstream. Seperti yang saya lakukan yaitu backpacker-an ke kota Pacitan dengan bersepeda motor.

Minggu (25/12/2016), saya dan Nana, teman saya waktu kuliah di Malang, memulai perjalanan pagi hari dari kota Kediri. Ada 2 jalur yang bisa kita pilih jika kita memulai perjalanan dari kota Tahu, yaitu jalur selatan yang melewati beberapa pegunungan di kabupaten Trenggalek dan jalur utara melewati kabupaten Ponorogo. Akhirnya kami memilih jalur selatan untuk keberangkatan.
Jalan Lintas Selatan (JLS)

“Kuatlah motor, kuaat!”, teriak Nana ketika saya bonceng dibelakang. Maklum sepeda motor yang kami gunakan ialah motor bebek. Jadi kami harus benar-benar pintar menguasai masukan gerigi ketika menanjaki dan menuruni jalan pegunungan.
PLTU di jalur selatan kabupaten Trenggalek
Pacitan dari JLS
Waktu tempuh yang kita habiskan dari Kediri ke Pacitan kurang lebih 4-5 jam. Kami pun sampai di Hotel Pacitan tengah hari. Tempat dimana kami akan menginap selama 3 hari 2 malam disana.
Pemandangan kota Pacitan

“Mau pesan kamar type apa, mbak?”, sapa bapak di meja resepsionis hotel tersebut kepada kami. Kemudian kami melihat beberapa tipe kamar yang ditawarkan di meja resepsionis. Setelah beberapa menit berdiskusi dengan mempertimbangkan kantong backpacker, kami memilih kamar ber-budget Rp 80.000 dengan fasilitas two bed, kamar mandi dalam, kipas angin, non-TV.
Siang itu juga setelah check-in, kami langsung memulai ekspedisi keindahan alam Pacitan. Tempat yang pertama kami kunjungi ialah Pantai Srau yang berada di Pringkuku sekitar 25 km dari kota Pacitan. Untuk menuju pantai ini cukup mengikuti penunjuk arah ke pantai Teleng Ria di jalan km Solo – Pacitan. Sekitar 45 menit berkendara, kami tiba di pantai yang katanya masih asri, bersih dan sepi.
“Stop, 2 orang ya mbak? Jadi total Rp 12.000”, ceplos salah satu petugas di pintu masuk kawasan pantai Srau. Harga segitu sudah termasuk murah. Tak bisa dibandingkan dengan bentang pemandangan yang tersaji di sepanjang pantai pasir putih ini (menurut kacamata nature addict).
Awal masuk akan disuguhi pemandangan rumput hijau dan pohon kelapa di pinggir jalan beraspal. Hamparan hijau daun-daun dan ranting pun seolah menari-nari ketika tersapu oleh hembusan angin dari laut. Rasanya tidak sabar, ingin segera turun dari kendaraan dan menikmati sensasi deburan ombak di pinggir pantai.
Jalan masuk pantai Srau

Ada 3 spot menarik yang bisa dinikmati di pantai Srau. Bibir pantai di bagian timur, bibir pantai bagian barat dan tebing karang.

Tiga spot pantai memiliki khas masing-masing. Pantai bagian timur untuk bermain air dan mandi. Pantai bagian barat bisa dibilang masih alami dan bersih dari sampah. Berburu spot foto bisa dibilang terbaiklah disini. Sedangkan tebing karang, biasanya warga sekitar memanfaatkannya sebagai tempat strategis untuk memancing ikan laut. Ketika kami naik tebing karang ini, kami bisa melihat seluruh tempat dan pemandangan bergulungnya ombak di pantai timur.
Pemandangan di bibir pantai timur
Penduduk lokal memancing di tebing karang


Asri dan bersih
Spot di bibir pantai bagian barat
Senja jingga pun tak terasa akan muncul menggantikan langit biru indah nan cerah. Saatnya saya dan teman saya beralih tempat ke pantai dekat kota Pacitan, yaitu pantai Teleng Ria.
Sama seperti di pantai Srau, pengunjung harus membeli tiket sebelum masuk kawasan wisata. Harga tiket perorang Rp 10.000 dan parkir Rp 3.000.
Pantai Teleng Ria merupakan pantai berpasir kecoklatan. Berbeda pula dengan pantai sebelumnya, Teleng Ria sudah mengalami pembangunan wisata. Disana pengunjung bisa bermain ke pantai, outbound, waterpark kolam renang, berbagai pedagang makanan kaki lima, café, restauran yang sudah tertata apik seperti pujasera.
Sebenarnya sih Teleng Ria kurang bagus untuk menikmati sunset karena posisi pantainya yang melengkung seperti huruf U dari sisi barat sampai sisi timur terhalang oleh tebing. Meski begitu tampak banyak wisatawan yang hilir mudik berjalan kaki, berfoto di sepanjang pantai mengambil moment terbenamnya matahari kala itu.
Suasana senja di pantai Teleng Ria
Waktu senja pun datang saatnya beranjak kembali ke kota Pacitan. Kami berencana beli oleh-oleh khas kota 1001 goa ini di perjalanan kembali. Ada banyak tempat rekomendasi pusat perbelanjaan oleh-oleh disana. Kemudian kami tiba-tiba melipir ke kanan jalan dan toko yang tak sengaja kami hampiri terpampang toko bernama “Put*a Sa**dra”. Toko ini cukup terkenal sebagai pusat oleh oleh khas Pacitan. Ada berbagai jenis olahan tuna bisa kami dapatkan disana, dari olahan Tahu Tuna, Bakso Tuna, Rolade Tuna, dll.
Sampai di hotel pukul 19.00 WIB, kami bersih-bersih diri dan merapikan kamar tidur. Berasa tiada lelahnya, pukul 21.00 WIB kami melanjutkan berkeliling di sekitar Alun-alun kota Pacitan. Lokasinya sendiri pun tepat di depan hotel kami menginap. Jadi kami cukup melangkahkan kaki saja untuk mencapai hiruk pikuk keramaian di jantung kota malam itu.

Sama seperti tata letak alun-alun kota pada umumnya, bagian barat alun-alun merupakan tempat beribadah. Ada masjid berdiri dengan megahnya. Bagian utara ada kantor dinas bupati Pacitan. Dan selebihnya, banyak penjual makanan dan minuman berjajaran dari timur, selatan dan barat alun-alun kota.

Hawa dingin kala itu semakin terasa ketika waktu beranjak semakin malam. Kami coba untuk berkuliner dulu sebelum balik ke hotel. Singkat cerita sih awalnya ingin menemukan makanan yang menjadi khas kota ini. Alhasil teman saya mengidam pempek Palembang dan saya sendiri membeli es Salju Pelangi. Sudah tahu dinginnya malam mulai menusuk tetap saja membeli makanan yang tidak kontras dengan situasi saat itu. Pertimbangan sih karena bentuknya unik saja. Jadi ingin beli dan penasaran rasanya seperti apa.

Itulah kegiatan kami seharian itu. Saatnya kembali ke hotel untuk istirahat dan mengembalikan tenaga fisik untuk perjalanan hari kedua eksplorasi besok pagi. Tunggu lagi cerita perjalanan kami selanjutnya di Negri 1001 Goa. 

Jajanan es salju pelangi
Tugu depan kantor dinas bupati Pacitan


Alun-alun Pacitan saat malam hari